Siapa Bilang KKN (Kecil2 Nikah) Nggak Mungkin? Ini buktinya...

Senin, 21 Februari 2011

Buat kamu yang belum yakin banget kalau ada miracle di pernikahan KKN, coba aja kamu simak dengan tuntas beberapa pengalaman teman-teman kita di bawah ini. Kata sebagian orang “pengalaman adalah guru terbijak bagi kehidupan kita”. Hem… bener nggak sih? Simak aja deh.

“Saat saya dihadapkan pertanyaan ‘menikah’ pertama kali dalam hidup saya, saya sempat maju mundur dan gamang dengan wacana-wacana semacam ini. Lama sekali saya menemukan keyakinan -–belum jawaban, apalagi bukti–- bahwa seorang saya hanyalah menjadi perantara Allah memberi rezeki kepada makhluk-Nya yang ditakdirkan menjadi istri atau anak-anak saya.
Saya sendiri menikah pada tahun 1999, saat umur saya dua puluh tahun. Saat itu saya bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan bakery tradisional. Tentu saja, saya sudah menulis saat itu kendati interval pemuatan di majalah sangat longgar. Kadang-kadang sebulan muncul satu tulisan, itu pun kadang dua bulan baru honornya dikirim. 

Sebulan setelah saya menikah, tiga cerpen saya sekaligus dimuat di tiga media yang berbeda. Beberapa bulan berikutnya hampir selalu demikian, cerpen-cerpen saya semakin sering menghiasi media massa. Interval pemuatan cerpen tersebut semakin merapat. Saat anak saya lahir, pada pekan yang sama, ada pemberitahuan dari sebuah majalah remaja bahwa mulai bulan tersebut, naskah fiksi saya dimuat secara berseri. Padahal, media tersebut terbit dua kali dalam sebulan. Ini berarti, dalam sebulan sudah jelas ada dua cerpen yang terbit dan itu berarti dua kali saya menerima honor. Ini baru serialnya. Belum dengan cerpen-cerpen yang juga secara rutin saya kirim di luar serial. 

Tunggu... semua itu belum berhenti. Saat anak saya semakin besar dan semakin banyak pernak-pernik yang harus saya penuhi untuknya, lagi-lagi ada keajaiban itu. Satu per satu buku saya diterbitkan. Royalti pun mulai saya terima dalam jumlah yang... hoh-hah...! Subhanallah...!” (seperti diceritakan Sakti Wibowo-2003, sumber: eramuslim.com).

Kisah lain, datang dari pasangan selebriti Cindy Fatikasari dengan Tengku Firmansyah, yang hingga tulisan ini dibikin, Alhamdulillah keluarga mereka masih utuh. Semoga aja keutuhannya, bisa bikin ngiri pasangan selebriti yang sukanya kawin cerai, agar bisa meniru Cindy dan Firman. Adapun kalau setelah tulisan ini dibikin, mereka menyusul berada di deretan bangku persidangan perceraian (semoga aja nggak), maka setidaknya kita udah bisa belajar dari pengalaman nikah mudanya mereka.

Menurut penuturan Cindy, ia tidak pernah membayangkan membina kehidupan berumahtangga pada usia muda. Tapi, katanya, ternyata Tuhan menentukan lain. Ia dipertemukan lelaki jodohnya dan dilanjutkan dengan pernikahan pada usia 20 tahun, sedangkan suaminya berumur 21 tahun. ”Alhamdulillah, pernikahan kami diridhoi Allah.”

Pada awal pernikahan, menurut Cindy, banyak cobaan berat yang harus dihadapi. Antara lain ia dan suaminya terpaksa tidak mengumumkan kepada publik bahwa mereka telah menikah, lantaran terikat kontrak dengan perusahaan tempat ia bekerja. ”Alhamdulillah, pengalaman pahit itu sudah terlewati,” Cindy mengaku sangat tersiksa ketika harus merahasiakan pernikahannya. Ia ingin hidup itu apa adanya.
Ditanya tentang pengalamannya membina rumahtangga di usia muda, menurutnya, ada banyak hal yang positif. Antara lain ia lebih bisa menfokuskan prioritas dalam hidup, di samping ada perasaan aman karena sudah mempunyai keluarga. ”Ketika masih lajang hidup tidak terarah. Setelah mempunyai suami dan apalagi anak hidup menjadi terfokus untuk keluarga,” ujar wanita yang mengenyam pendidikan di Amerika ini.
Dengan penjelasan tadi, Cindy menggarisbawahi menikah di usia muda lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya. Kuncinya, masing-masing pasangan sama-sama berkomitmen demi keutuhan keluarga dan masing-masing membuang jauh-jauh ego yang berlebihan. Mengaca pada dirinya, Cindy berpesan kepada kaum muda untuk tidak takut menikah. ”Kalau keinginan berumah tangga sudah ada dan bertemu pasangan yang cocok, segera saja menikah,” tutur Cindy meyakinkan.

Mengenai rizki, menurutnya, asal mau berusaha dan bekerja keras serta bertawakal kepada Allah, insya Allah akan ada saja. ”Toh, rizki itu yang mengatur juga Allah.” Tentang anak, Cindy menuturkan, sebenarnya ia dan suaminya bersepakat untuk tidak mempunyai momongan lebih dulu. Pada tahun-tahun awal pernikahan, mereka ingin lebih berkonsentrasi pada pekerjaan dan karir. ”Tapi, ya itulah, semua Tuhan yang mengatur. Setelah tiga bulan menikah, saya ternyata hamil. Namun, bagi kami, anak adalah rizki dan titipan Allah. Dikasih, ya senang sekali. Apalagi sekarang banyak orang yang tidak mempunyai anak,” tuturnya.

Cindy menganggap anak dan keluarga sebagai kontrol dirinya, misalnya saat sedang di luar rumah tidak bakal macam-macam karena selalu teringat mereka. ”Keluarga juga sebagai inspirasi dan semangat dalam pekerjaan.” Karena itu, Cindy ingin membangun keluarga yang didasari kejujuran satu sama lain. Kedekatan dan kemesraan keluarga, katanya, yang utama. Tidak ada jarak dan penuh keterbukaan.
Sekarang ini, anak Cindy, Tengku Syaira Anataya, berusia dua tahun lebih. Keinginan Cindy, Syaira terbuka kepada orang tuanya. ”Lebih baik ngomong apa saja di depan saya daripada ngumpet di belakang,” kata wanita kelahiran Malang 18 Desember 1978 yang hijrah ke Jakarta saat lulus SMP ini. Dalam usia yang relatif muda, Cindy mengaku sangat bersyukur dengan apa yang telah diraihnya: suaminya yang baik, anak yang sehat, dan karir yang bagus. Namun, katanya, karir hanyalah untuk mendukung kesejahteraan keluarga. Karena itu, katanya, ia tidak akan ‘tergila-gila’ suntuk dalam pekerjaan maupun karirnya. ”Yang nomor satu tetap keluarga.”(bowo leksono/Arsip REPUBLIKA/Januari 2003).

Ada seorang teman juga yang mencoba berbagi kisahnya, sebut aja namanya Zulfa, berikut kisahnya “Sebelumnya perkenalkan nama saya Zulfa. Saya menikah di usia 22 tahun. Nggak tahu ya apa itu pernikahan dini apa nggak, yang jelas saya menikah di saat saya masih berstatus mahasiswa disebuah perguruan tinggi negeri di kotaku. Kalau menurut saya (dan pasti orang tua sama keluargaku juga menganggap sama) menikah di usia itu memang terlihat masih dini (berhubung masih sekolah).”
Sebenarnya soal KKN si Zulfa nggak terlalu amat niat mau kesitu, tapi ada sebab lain yang menyebabkan Zulfa akhirnya KKN juga, merunut dari ceritanya “Orang tuanya (calon suaminya) sudah ingin anaknya untuk segera menikah. Dari keluarga dia sih nggak masalah karena memang dia sudah dianggap cukup dewasa untuk menikah dan berstatus karyawan di sebuah perusahaan. Saat itu saya takut dan malu untuk bilang ke ortu kalo udah ada yang mau lamar. Tapi dia tetap mendesak agar aku harus mengatakan niat dia ke ortuku sebelum dia sendiri yang datang untuk mengatakannya secara langsung.”

Karena Zulfa masih berstatus mahasiswa, pasti dari ortu si Zulfa ada yang keberatan. Bener aja, coba kita simak penuturannya “Orang tuaku belum pernah ketemu dia dan belum tau apa-apa tentang dia. Respon ortu saat tahu... Kaget pasti iya.. apalagi papa.. saya. Saya tahu pasti di dalam hatinya mungkin mengatakan jangan dulu, selesaikan dulu kuliahmu yang sebentar lagi juga bakal selesai. Tp ortuku nggak ambil keputusan sendiri, mereka tanya dulu ke saudara-saudaranya... baiknya seperti apa. Alhasil keputusan keluarga… ya sudah... kalau memang dia jodoh saya, mau apalagi jodohnya sudah datang..., mereka juga takut kalau bilang jangan dulu, takut anaknya bakal stres (atau apalah yang melakukan hal-hal yg tidak diinginkan). Walaupun saya masih kulah tapi saya juga sudah ingin menikah ketika mendengar dia berniat melamar saya. Alasan saya mau nikah karena saya takut... pacaran... tau sendiri kan kayak gimana.. apa lagi dunia sekarang ini pergaulan udah kayak apa.. saya takut kalo saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (hamil diluar nikah).”

“Alhamdulilah sekarang saya merasa senang sudah menjadi seorang istri (karena hal yang paling aku takuti …yaitu berzina... hal itukan tidak bisa kita pungkiri, yang bisa saja terjadi pada diri kita, naudzbilah minzalik), hal yang pertama kali aku syukuri terhindar dari itu...saat ini yang aku lakukan sekarang adalah mengurus baby dan berusaha harus bisa menyelesaikan kuliah secepatnya...... saya berharap sekali bisa menyelesaikan kuliah ini secepatnya. Tolong Doanya ya... saya berharap sekali supaya saya bisa menyelesaikan kuliah ini, demi kebahagian kedua orang tuaku. keluarga, serta suami dan anakku”. Nah, itu tadi kisah inspiratif dari Zulfa.

Giman sob? Masih kurang ya contoh nyatanya? Baiklah, biar makin mantab contohnya saya ambil dari teman-teman saya. Alhamdulillah saya sudah mereportase alias minta tolong kepada teman-teman saya yang punya pengalaman ngelakuin KKN untuk berbagi pengalaman dengan kita. Yuk, kita ngulik pengalaman mereka.

Ini pengalaman dari teman kita yang bernama Muhammad dan Mutia. Pasangan ini, nggak cuman menikah saat masih muda, tapi juga menikah sambil kuliah. Mereka beralasan segera menikah karena “udah datang jodoh saya kali ya… lagian saya jauh dari ortu, hitung-hitung bisa meringnkn beban ortu, terutama biaya kuliah…” tuturnya. “Tapi yang lebih utama biar bisa menajaga diri. tambahnya. Trus gimana dengan reaksi kedua orang tua, ketika mereka mengungkapkan keinginannya untuk menikah muda? “kedua orang tua, alhamdulillah menyetujui denga syarat-syarat tertentu. Diantaranya harus lulus kuliah dan mandiri.”jawab Mutia. “Saya tidak pernah khawatir atawa takut karena semuanya adalah kehendak Alloh. tawakal kepada Alloh, adalah kuncinya” begitu penuturan keduanya.

Sebagai keluarga muda, tentu saja pasti ada masalah yang menghampiri mereka. Lalu gimana mereka mengatasinya? “Masalah itu pasti ada. Cara mengatasinya berdoa dan berdiskusi mencari solusi terbaik serta minta nasehat dari orang tua karena kami sendiri keluarga muda membutuhkan bimbingan dari ortu.”
Tentang pembagian waktu gimana? Khan udah pasti ribet tuh, ngurus keluarga, kuliah dan kerja. Apa tips dari Mutia? “Berkomitmen waktu antara saya dan suami. Jika saya kuliah suami menjaga anak-anak, jika saya pulang kuliah giliran saya jaga anak-anak dan suami kerja. Kebetulan suami wiraswsta jadi flexibel dalam urusan waktu.”
Ketika ditanya, kenapa lebih memilih menikah daripada pacaran? Dengan mantab Mutia menjawab “Dalam agama saya (Islam) tidak ada istilah pacaran yang ada hanya taaruf itupun ada batasan-batasannya. Jika pacaran lebih dekat dengan zina sedangkan itu haram lalu kenapa pilih yang haram daripada yang sunnah (baca: nikah)”.
Dia menambahkan sekaligus ngasih saran kepada remaja kita “Kalo belum siap nikah jangan pacaran sebaiknya berteman saja. Remaja kita memang harus mendapatkan bimbingan yang benar biar tidak terjebak ke dalam pergaulan bebas.”
Itu tadi hasil interview dengan pasangan Muhammad-Mutia. Berikutnya saya juga berhasil mewawancarai via email dengan pasangan suami yang bernama M. Firdaus dengan istrinya yang bernama Nur Maulidiyah. Beliau berdua, membagikan pengalamannya kepada kita.

“Alasan kami segera menikah (dini) karena untuk menjaga kehormatan dan bersegera melaksanakan syariah. Awalnya, yang disetujui orang tua setelah selesai kuliah (waktu itu kami semester 5 pertengahan). Tetapi masa antara khitbah dan nikah adalah masa yang rawan akan godaan syetan sehingga kami tidak ingin menundanya hingga lulus kuliah. Akhirnya kami pun melobi orang tua dan dengan keyakinan pada hadits “Ada 3 golongan yang adalah hak Allah untuk menolongnya. Seorang mujahid fi sabilillah, seorang mukatib*, dan seseorang yang ingin menikah untuk menjaga kehormatannya (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An- Nasa’i).”

Mereka berdua menikah saat usia mereka masing-masing, suaminya usia 21 tahun, sedangkan istrinya 20 tahun. Bagaimana reaksi ortu masing-masing ketika mendengar mereka berdua ingin KKN atau menikah sambil kuliah? “Dari suami, awalnya orang tua keberatan karena dulu ortu suami juga menikah muda (bapak masih kuliah, ibu kerja waktu itu tapi masih muda). Dan beliau berdua merasakan kesulitan ekonomi pada pernikahannya dan khawatir akan mengganggu kuliah. Tetapi setelah suami melobi, alhamdulilah disetujui. Saya sendiri hampir sama dengan mertua, ibu saya kurang setuju kalo waktu kuliah, inginnya setelah selesai kuliah, tetapi setelah itu saya lobi dengan segala macam cara termasuk menulis surat dll. Alhamdulilah awalnya disetujui setelah kuliah, 6 bulan kemudian dan akhirnya dimajukan 1 bulan setelah khitbah”, demikian jelas Nur.

Mengatasi rasa khwatir saat mau memasuki gerbang pernikahan apalagi KKN, emang nggak gampang. Tapi Firdaus-Nur, punya pengalaman seputar gimana mengatasi rasa khawatir atau takut untuk memasuki gerbang pernikahan, mengingat salah satu dari mereka ada yang masih kuliah? “Saya selalu ingat keutamaan menikah dan memeriksa kesiapan diri. Alhamdulilah kami sudah merasa siap dan merasa tidak perlu menunda-menunda kebaikan. Kalau masalah rizki, Alloh yang mengatur. kita tinggal menyiapkan ilmu”, begitu tutur wanita yang udah menyelesaikan studi S-1 ini.

Trus, gimana secara praktis soal pembagian waktu untuk keluarga, kuliah, dan kerja? “Alhamdulilah semua dilakukan dengan merencakan apa yang dilakukan 1 minggu, 1 bulan dan seterusnya, serta disiplin terhadap waktu kuliah, keluarga,kerja dan dakwah.” Betul tuh masalah disiplin, emang cukup penting untuk jadi perhatian siapa saja. Sebab, biasanya kita udah bikin schedule begini dan begitu, tapi kadangkala kita sendiri yang ngelanggar schedule itu. Khan payah jadinya?

Pasangan yang menikah tahun 2008-an ini, mengakui kalau soal masalah serius yang menghampiri keluarga pastilah ada, “Permasalahan alhamdulilah tidak sampe besar, cuma terkadang masalah itu besar karena kita sendiri, perasaan benar  sendiri dalam pendapat ataupun ingin mendapat perhatian dari suami/istri, masalahnya disitu biasanya. Solusinya saling komunikasi dan harus ada salah satu yang mengalah untuk meminta maaf terlebih dahulu dan kita menuntut diri kita bukan pasangan.”…heem, ok juga tuh untuk ditiru.

Menikah saat kuliah atau menikah saat usia (menurut kebanyakan orang) belum pantas menikah, membuat banyak orang tua juga merasa khawatir, yang ujung-ujungnya melarang anaknya ngelakuin KKN. Ketika dimintai pendapat seputar hal tersebut, dengan cukup panjang Nur menuturkan “Kekhawatiran orang tua akan sangat sering ditemui mengingat kondisi ekonomi saat ini yang carut marut. Orang tua tidak tega jika anaknya mengalami kesulitan ekonomi, padahal itu mendewasakan. Dan Rizki orang yang menikah adalah gabungan rizki suami dan istri, insyaallah Allah memampukan. Kekhawatiran ortu juga seringkali disebabkan karena anaknya sendiri yang memang belum siap (masih manja, tergantung dan belum memiliki sikap yang selayaknya orang yang siap menikah di mata Syariah Islam). Jika itu yang menjadi sebab maka anak harus berinstropeksi diri dan meningkatkan kualitas. Karena menikah menggenapkan separoh agama tetapi tidak boleh lupa dengan kewajiban lainnya dan tanggung jawab besar pasca menikah”

Tentang budaya remaja yang lebih banyak memilih pacaran daripada menikah (dini). Pasangan yang tinggalnya di kontrakan yang sekaligus juga tempat usaha warnetnya, mengutarakan pendapatnya “Ini terjadi juga karena kesalahan Negara yang membatasi usia pernikahan, selain itu sekolah yang menjadi lembaga yang menididik ternyata tidak mempersiapkan generasi yang siap memasuki gerbang pernikahan tetapi hanya mencetak pelajar siap ujian. Di tambah lagi banyaknya angka perceraian dan kurangnya pengetahuan proses syar’i pra pernikahan. Tetapi tetap saja jika remaja memilih pacaran adalah sesuatu yang buruk di mata Syariah”

Saran beliau berdua bagi muda-mudi khususnya para mahasiswa, jika memang sudah “siap” dan “pantas” menikah “Untuk akhwat, kesiapan lebih kepada mental dan ilmu jika sudah siap menengadahlah ke hadirat Alloh memohon jodoh terbaik dan milikilah cita-cita untuk menyegerakan. Sesungguhnya Alloh mendengar doa kita”…heemm, ada yang senyum-senyum terprovokasi neh kayaknya? He..he..hee..
Ok pren, saya masih menyimpan kisah lagi seputar KKN. Kali ini datangnya dari teman saya yang berada di Sulawesi, namanya Yusri Bachtiar. Menurut cerita Yusri, dia dan istrinya Hamsina menikah saat usia 20 tahun, tapi sebenarnya ada temannya Yusri, yang menikah lebih muda dari itu. Tapi maaf, kami nggak sempat melakukan reportase langsung ke beliaunya. Biar kisahnya si Yusri aja yang kita bagi ke kamu. Baiklah, simak ya kisahnya.

Seperti pasangan nikah muda pada umumnya, pasti mendapat tantangan dari orang tua, demikian juga dengan Yusri ketika itu. Dia menceritakan Kalo dari ana (maksudnya “saya”), orang tua kurang setuju karena alasan klasik belum siap dan alasan ekonomi. Kalo dari pihak istri tidak ada masalah. Mereka (para orang tua) hanya kurang paham masalah rezeki. Karena yang mereka khawatirkan sebenarnya rezeki anak-anaknya kalo sudah nikah nanti. Mereka paham tujuan nikah dini supaya terhindar dari zina, tapi mereka takut bagaimana nantinya kalo anaknya nikah dini. Apa bisa makan, langgeng nantinya dan mengurus keluarganya.

Alhamdulillah, pasangan yang menikah 6 tahun lalu ini sudah dikarunia 2 anak. Gimana suka dukanya selama perjalanan pernikahan KKN Dalam biduk rumah tangga tentu saja masalah itu pasti ada, tinggal kita gimana caranya menghadapi masalah tsb. Masalah yang paling sering mengganggu kami itu, adalah kadang adanya campur tangan ortu yang kadang sifatnya memprotect, apalagi terhadap anak-anak, kami berusaha sabar menghadapinya dan berusaha menunjukkan kepada mereka bahwa apa yg mereka khawatirkan itu tdk terjadi. Demikian jelasnya.

Menanggapi fenomena tentang banyaknya remaja lebih memilih pacaran daripada menikah (dini)? Yusri menuturkan Mereka berpikir bahwa pacaran dulu lebih baik untuk saling mengenal satu sama lain, supaya nantinya setelah nikah tidak ada lagi perbedaan karena sudah saling kenal satu sama lain… di tambah lagi, mereka berpikir bahwa umur seperti itu adalah masa-masa untuk mengembangkan diri dan masih mau bebas..

(dinukil dari buku Kecil-Kecil Nikah, Karya Luky B Rouf)...... beli ya bukunya

0 komentar:

Posting Komentar