Biasa, Biasa, dan Biasa

Senin, 21 Februari 2011

Maaf kawan, kalo saya hanya nulis biasa, gak bisa layaknya tulisan kawan-kawan yang biasa nulis.
Bahkan kalo kawan tahu isi tulisan ini cuman tulisan biasa, pastilah akan melewatkan halaman ini. Atau membacanya saat judul yang lain sudah terbaca, atau kalo punya waktu luang aja menyempatkan baca prolognya saja. Kalo ternyata “ah, biasa” maka memang ini tulisan biasa.
Karena yang bikin memang orang biasa, makannya aja biasa, tidur juga biasa, jalanpun biasa. Maaf lho kawan, ini bukan inferior, hanya sekadar ngasih sekilat info bahwa ketika kawan sudah baca k-max, trus gak baca tulisan biasa ini juga pasti akan biasa saja.

Disini, saya hanya mau ngomel soal biasa dan gak biasa. Sebab waktu saya pulang jum’atan di masjid tempat saya biasa sholat, terjadi insiden kecil yang mungkin di tempat lain ini biasa, tapi bagi saya ini pengalaman yang gak biasa. Khotib biasanya naik mimbar jam 12 kurang ¼ , tapi siang itu khotib baru datang jam 12 kurang 5 menit (jam dinding di masjid). Biasanya khotib selesai khutbahnya jam 12 lebih ¼ , tapi jumat itu, khotib selesai jam 12 lebih 30 alias ½ 1.
Jamaah yang sudah biasa sholat disitu memperotes kemunduran jam itu, diantaranya saat khotib belum selesai khutbah, ada yang bicara sendiri, ada yang ngantuk (tapi ini biasa ya?). Tapi di luar masjid ada yang mengoak keras, menahan kantuk, ada juga yang teriak “amin”, bapak di sebelah saya menggerutu, sembari mengeluarkan kecapan dari mulutnya.
Aksi para jamaah, gak mengusik keasyikan pak khotib meneruskan ceramahnya yang siang itu membahas tentang tipu daya setan.
Padahal di masjid sebelah yang radiusnya gak sampe 1 km, keterlambatan, molor dari jadwal, adalah biasa. Tapi kenapa di masjid ini jamaahnya gak biasa. Demi menyaksikan para jamaah belingsatan, saya terheran-heran “kenapa masyarakat begini?”
Setelah saya lakukan analisa kecil-kecilan, titik persoalannya ada pada “biasa dan tidak biasa”
Ya, masjid tempat saya jum’atan tadi jamaahnya belum biasa untuk mendengar ceramah lebih dari ½ jam, sehingga ketika diperpanjang ¼ jam, ngomelnya luar biasa.

Ada juga problem lain, yang mungkin bagi pembaca sudah biasa dengan problem ini. Tapi tak apalah, saya tulis disini, sekedar ngasih masukan.
Begini, saya punya anak belum genap berumur 2 tahun. Di tempat tinggal saya, kebetulan banyak anak2 kecil, mungkin umurnya lebih tua dikit dari anak saya. Nah, ketika anak saya bermain dengan mereka, saya atau kadang umminya menemani. Di tengah pertemanan itu, anak saya kadang unjuk kebolehan mulai dari mencium tangan ketika bertemu dengan orang tua, ngasih makanan atau mainan ke temannya. Pada saat makan biasanya, istri saya mengajaknya sambil bermain dengan teman-temannya. Saat sebelum makan biasanya umminya melafadzkan doa makan dan anak saya menengadah tangannya, saat selesai, anak saya mengamininya dengan mengusap mukanya.


Demikian pula dengan panggilan “ummi” untuk menggantikan “ibu” atau “mama” dan panggilan “abi”, untuk menggantikan “ayah”, “bapak” atau “papa”. Orang kampung belum membiasakan anaknya memanggil dengan panggilan itu, sebab panggilan ummi biasanya diperuntukkan bagi ibu-ibu yang udah uzur dan pernah naik haji, demikian pula dengan panggilan “abi”. Dengan hadirnya panggilan baru itu, orang sekampung merasa aneh, tapi keanehan itu terhenti, saat satu-dua-tiga orang menirunya.
Bagi ibu-ibu di kampung saya, aksi anak saya tergolong tidak biasa, tapi bagi saya atau kami itu biasa. Hanya saja peristiwa ini tidak menimbulkan insiden, justru dengan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, ibu yang menemani anaknya main atau makan melakukan hal serupa, seperti yang dilakukan istri saya. Akhirnya kebiasaaan itu jadi biasa di kampung saya.

Dulu waktu saya biasa melek malam, sering kehilangan sholat shubuh. Saya anggap itu hal biasa. Tapi lama kelamaan saya jadi risau, kenapa sholat saya nggak genap. Akhirnya saya biasakan sholat yang biasa tidak saya kerjakan, seperti sholat dhuhur, asar dan subuh. Soalnya masjid di kampung, kalo adzan cuman waktu maghrib, isya dan shubuh. Sementara shubuh saya kadang masih di atas kasur.
Untuk menjadikan biasa, saya biasanya membunyikan jam weker, setelah ada HP, saya set alarmnya. Kalo tidak juga bangun, biasanya saya mengikat salah satu jari kaki saya dengan tali yang saya kaitkan dengan kaki tempat tidur, jadi kalo ngerasa ada yang nyatol, wah itu berarti itu peringatan terakhir, harus bangun.
Akhirnya, sekarang tanpa jam weker, tanpa alarm, tanpa diikat, saya sudah biasa bangun shubuh.

Kawan, seperti diawal tadi sudah saya sentil, bahwa saya bicara soal biasa dan tidak biasa. Karena tidak atau belum biasa, orang jadi ngerasa aneh dengan sesuatu yang belum atau tidak biasa itu. Kebetulan saya disini gak ngobrol soal kebiasaan buruk, sebab keburukan pun kalo dibiasakan akan jadi kebiasaan.
Sebenarnya, kawan bagi kamu yang merasa nggak biasa terikat dengan aturan Islam, sebenarnya biasakan aja, nanti akhirnya jadi biasa.
Buat kawan, yang biasa ngelakoni maksiat, sebenarnya biasakan aja untuk meninggalkan kemaksiatan, maka nanti jadi biasa.
Juga buat kawan yang hidupnya biasa-biasa saja, tanpa merasa ada beban ketika meninggalkan kewajiban atau ngelakukan larangan, maka sebenarnya tinggal biasakan saja untuk hidup bisa diatur dengan Islam.
Untuk membiasakan suatu kebaikan tidak ada kata terlambat. Kata terlambat, hanya dikatakan mereka yang belum pernah melakukan hal biasa atau tidak pernah melakukan hal biasa.

Bukankah ketika syariat ini mulai diterapkan sebagai undang-undang negara dalam Daulah di Madinah saat itu, orang-orang yang tidak biasa diatur dengan syariat Islam (yahudi, kafir, munafik) akhirnya terbiasa dengan syariat Islam?
Bukankah karena biasa sejak kecil dekat dengan orang-orang ‘alim dan juga al-qur’an, akhirnya Syafi’i kecil hafal al-qur’an ketika usianya 9 tahun?

0 komentar:

Posting Komentar