Pelajaran Dari Kasus “PeterPorn”

Minggu, 20 Februari 2011

(catatan dari orang awam)
Setelah berbulan-bulan kasus ini mengundang perhatian masyarakat akhirnya vonis terhadap Nazriel Ilham yang akrab disapa Ariel sudah dipalu. Tertanggal 31 Januari 2011 vokalis salah satu grup band yang bervideo mesum dengan 2 sahabat perempuannya itu dihukum oleh Pengadilan Negeri Bandung dengan 3,6 tahun penjara dan denda sebesar 250 juta.

Sama dengan kasus awal bergulirnya video porno Ariel Cs, maka berita vonis ini pun mengandung kontroversi. Ada suara sumbang, kecewa, nyinyir, cemas, dan sebagainya. Tapi dari semua suara yang ada menanggapi kasus ini, bisa kita kelompokkan menjadi dua kelompok besar, yakni pro-kontra.

Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Ariel. Ada satu hal yang harus kita sadari bersama tentang siapa Ariel dan siapa orang-orang di balik Ariel. Maksudnya, kita harus sadari bahwa Ariel adalah seorang selebriitis, public figure, orang terkenal, sehingga wajar sekali ketika ada upaya untuk memojokkan, menghitamkan, mengasusilakan, bahkan memvonis Ariel, maka tentu saja ada yang “membela”. Membela disini, bisa dikegorikan menjadi dua, pertama: membela, sebenar-benarnya membela, yang di kanal ini adalah orang-orang terdekat Ariel, bisa pacarnya, teman band-nya, keluarga, teman sesama artis, bahkan fansnya. Pembela yang kedua adalah pembela yang “invis” alias yang nggak keliahatan sebagai pembela, tapi sebenarnya mereka merasa tersakiti, eman-eman (jawa: ), yang berada di kanal ini adalah para empunya media yang merasa kehilangan satu omzet besar dunia panggung hiburan, kemudian masyarakat secara umum yang sebenarnya tidak tahu siapa ariel, jadinya malah ikut membela. Pemetaan diatas penting sekali, sehingga sekalipun ada lusinan tulisan yang bernada “menjelekkan” Ariel, pasti tetap akan ada yang membela Ariel, yakinlah itu. Tapi bagi orang-orang yang yakin akan kebenaran, pasti tidak akan pernah takut untuk terus menuliskannya.


Pelajaran Apa?
Bisa cukup banyak pelajaran yang kita bisa dapatkan dari kasus “Peterporn” ini, tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Setidaknya ada 3 pelajaran besar yang bisa kita urai pada kesempatan kali ini. Pertama, dari sisi hukum, bagi orang awam ilmu hukum, sudah bisa membaca jelas ini membuktikan bahwa hukum di negeri ini ibaratnya permainan plastin, bisa dibentuk sesukanya tergantung siapa yang mau membuat mainan. Dan kasus Ariel, bukan pertama kali yang mencoreng wajah hukum di Indonesia. Kasus yang terdekat saja, Gayus Tambunan yang seharusnya tersangka dan harusnya di dalam sel, malah bisa keluyuran kemana saja. Masih ingat Artalita Suryani?, penjaranya semewah kamar hotel. Kalau mau contoh sesama artis, lihat saja artis-artis narkoba macam Roy Marten, Ahmad Albar, terbukti keluar masuk penjara. Ada juga artis Shela Marcia yang terkena narkoba sekaligus hamil di dalam bui, saksikanlah, ini membuktikan meskipun mereka dicela (baca: dihukum) tapi tetap dipuja fans-nya, termasuk Ariel.

Masih dari sisi hukum, belajar dari kasus ini juga kita jadi paham bahwa hukum itu jadi bias, ambigu. Hukuman akhirnya dijeratkan pada si pelaku pengunggah video itu ke dunia maya, padahal seberapa berat pun hukuman yang akan diterima si pengunggah video tersebut, sekali lagi orang awam pun akan bisa melihat bahwa pelaku video itu juga harus dijatuhi hukuman. Pertama: si pelaku video porno itu telah melakukan “zina”, karena bersetubuh dengan jelas-jelas yang bukan isterinya. Kedua: si pelaku video porno itu mau-maunya aksi mesumnya direkam lewat video. Sehingga, sekaligus ini membantah alasan yang mengatakan “itu kan, ruang pribadi, orang bisa melakukan apa saja dengan siapa saja”. Kalau ruang pribadi, kenapa harus direkam? Maka nanti ujung-ujungnya HAM. Nah, dengan alasan HAM juga boleh dong kalau ada masyarakat yang tidak rela melihat video itu meracuni moral anak-anak, kemudian menutut Ariel di hukum?

Kalau masih ada yang mengatakan “Ariel tidak mengaku bahwa di video itu dirinya”. Keraguan ini sebenarnya terjawab ketika si pelaku yang lain sudah mengaku. Sehingga sebenarnya cukup mudah, tidak harus melewati hukum yang tidak berbelit-belit dan terkesan diulur-ulur, cukup dengan mengkroscek atau mempertemukan antara pelaku yang mengaku dengan yang tidak mengaku. Tapi bagi orang yang beriman dan ingin taubat, tidak sulit untuk mengakui itu, apapun resikonya. Apakah demikian dengan Ariel?

Pelajaran kedua, dari sisi budaya atau moral. Ini penting sekali mengingat, negeri kita sudah tercoreng sebagai negeri terporno kedua setelah Rusia dari segi pornografi dunia maya. Setidaknya ada beberapa dampak yang kita harus siap menerima, setelah kasus “Peterporn” ini. Pertama: peniru Ariel akan banyak, baik dari kalangan artis maupun orang awam, karena mereka merasa aktivitas seperti itu hukumnya tidak tegas dan tidak jelas. Kedua: akan semakin banyak, para pengunggah video mesum seperti itu di dunia maya, dengan alasan yang sama tadi. Ketiga: para artis yang sekarang mungkin “belum” seperti Ariel, yang sekarang kumpul kebo, merasa masih terlindungi atau bisa dibilang tidak jera. Dari ketiga dampak tersebut, yang patut kita waspadai dampak yang bagi masyarakat awam. Apa itu? Setelah ketiga dampak tersebut, maka bagi masyarakat awam akan semakin yakin bahwa para artis ibarat para dewanya manusia tanpa cela, yang siap dibela, sehingga obrolan apapun yang menjelekkan mereka, tidak akan digubrisnya, meskipun itu dari orang tua dan guru-guru mereka. Naudzubillah min dzalik.
Pelajaran ketiga, dari sisi ke artisan, kita memang tidak bisa menggeneralisir bahwa dunia artis akan diliputi kepekatan, tapi fakta (bukan gossip) selalu berbicara bahwa dunia artis itu penuh kepura-puraan, kebohongan, permainan dan sebagainya. Seorang artis dikabarkan tidak hamil, bahkan sempat di wawancarai mengaku tidak hamil, tapi setelah menikah belum genap 1 bulan sudah positif hamil. Ada artis, mengaku tidak mengkonsumsi narkoba, ternyata di ditemukan sedang mabuk dengan barang haram tersebut.

Baiklah, mungkin kita tidak boleh dan mungkin tidak bisa menggeneralisir dunia artis akan selalu diliputi suasana kelam. Tapi setidaknya kita belajar dari pengalaman yang tengah dan telah berlangsung hingga kini, apa mata kita terlalu besar untuk ditutupi fakta-fakta buruk para artis selebritis kita? Apa telinga kita terlalu tuli untuk mendengar nasehat bahwa kita tidak perlu terlalu memuja seorang artis, karena akan berlanjut pada pemujaan yang buta? Apa hati kita terlalu bebal untuk sekedar menerima informasi bahwa memang artis yang kita puja dan puji juga adalah manusia yang tak lepas dari dosa?

Sebenarnya bisa jadi kalau mau dibuat “buku hitam” selebritis, maka tebalnya akan melebihi fakta yang selama ini terpampang di media. Ini bukan isapan jempol, sebab menurut pengakuan beberapa mantan artis yang sudah bertaubat dari dunia itu, dunia artis adalah dunia kemunafikan. Apalagi dengan adanya fasilitas infotaiment, yang tak lebih sebagai perpanjangan mulut marketing dari para artis tersebut. Bahkan dengan sengaja artis membeli beberapa jam tayang infotaiment untuk meningkatkan popularitas mereka. Inilah yang disebut simbiosis mutualisme, media membutuhkan artis untuk menambah genre dan jam tayang, sementara artis butuh media untuk meningkatkan popularitas dan pundi-pundi pribadinya.

Untuk itu, pelajaran bagi para pemujanya seperti kita ini orang awam, tidak usahlah terlalu memujanya, bahkan kalau kita muslim kita akan bertanya ke Islam dulu tentang tingkah laku, pola busana, sikap, sifat artis-artis yang mau kita contoh. Kalau Islam mengatakan boleh, ya silahkan dicontoh, kalau Islam mengatakan tidak boleh , ya berarti kita harus secara sukarela meninggalkannya.

Untuk para artis, nasehat kami dari orang awam. Tidak usahlah berpura-pura, kami capek dibohongi dengan sikap manis, tapi sejatinya iblis. Tidak perlu bermuka dua, jika memang nyatanya kita bisa bermuka satu. Kami orang awam, sangat senang jika kalian hidup dalam kewajaran, sebagaimana layaknya apa adanya.

Suara Nyinyir

Kembali ke khusus kasus “peterporn”. Mungkin masih ada saja suara nyinyir membela pujannya yang telah divonis 3,6 tahun dan 250 juta ini. “Ariel kan juga manusia, pasti punya salah dan dosa, jangan sok suci deh”, Nah, justru karena Ariel adalah manusia, dan kita yang mengingatkan adalah juga manusia, maka kita ingatkan sesama manusia. Apalagi kalau Ariel adalah muslim, maka bentuk mengingatkan kami ini bisa terkategori nasehat atau dakwah yang merupakan implementasi dari kasih sayang.

“maaf mas, ini bukan Negara Islam, jadi jangan bicara hukum Islam” Ini memang bukan Negara Islam, tapi konsekuensi dari ketahuidan kita kepada Allah atas syahadat kita maka bertahkim (berhukum) dengan hukum Allah adalah wajib. Sehingga harus diterima sebagai sebuah kewajaran, jikalau ada orang atau ormas yang bicara hukum Islam saat kasus “peterporn” ini berlangsung.

“ya boleh lah berdemo menutut Ariel, tapi ya mbok jangan anarkis”, okelah anarkis memang tidak boleh, tapi kita minta tolong juga jangan jadikan ini sebagai tameng atau senjata untuk memukul Islam dan umat Islam. Mungkin jika ada sebagian kami yang melakukan aksi seperti itu, yakinlah itu sebagai bentuk ekspresi kekesalan kami terhadap perilaku hukum dan aparatnya di negeri ini. Sehingga itu artinya, aksi itu muncul sebagai sebuah reaksi atas ketidakadilan. Jika ada keadilan, maka yakin saja tidak akan reaksi ketidakadilan.

Dan masih banyak suara-suara nyinyir yang lain, yang berupaya menyudutkan umat Islam, membela orang-orang yang bersalah yang seharusnya tidak wajib dibela.


Ketika Islam Berbicara….

Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum uqubat (pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal; dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat.

Keberadaan uqubat dalam Islam, yang berfungsi sebagai pencegah, telah disebutkan dalam Al-Qur’an:

                “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 179)

Yang dimaksud dengan “ada jaminan kehidupan” sebagai akibat pelaksanaan qishash adalah melestarikan kehidupan masyarakat, bukan kehidupan sang terpidana. Sebab, bagi dia adalah kematian. Sedangkan bagi masyarakat yang menyaksikan penerapan hukuman tersebut—bagi orang-orang yang berakal—tentulah menjadi tidak berani membunuh, sebab konsekuensi membunuh adalah dibunuh. Demikian pula halnya dengan hukuman-hukuman lainnya, sebagai bentuk pencegahan terjadinya kriminalitas yang merajalela.

Yang dimaksud dengan tindakan kriminal adalah suatu perbuatan yang dipandang tercela oleh syara’. Oleh karena itu, suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan tindakan kriminal, kecuali apabila telah ditetapkan melalui nash syara’ (al-Qur’an, hadits, dan apa-apa yang ditunjuk keduanya). Jika manusia melanggar perintah/larangan Allah, berarti dia telah melakukan perbuatan tercela, dan dianggap telah melakukan tindakan kriminal, shg harus dijatuhi hukuman atas kriminalitas yang dilakukannya. Sebab, tanpa pemberlakuan hukuman bagi para pelanggar, hukum tidak akan memiliki arti apa-apa. Suatu perintah tidak akan bernilai apa-apa jika tak ada balasan (hukuman) bagi pelanggar yang mengabaikan perintah tersebut.

Syariat Islam telah menjelaskan bahwa pelaku kriminalitas akan mendapatkan hukuman, baik hukuman di dunia maupun hukuman di akhirat. Allah akan mengazab mereka di akhirat, dengan hukuman yang nyata, sebagaimana firmanNya: “Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya.” (QS. Faathir [35]:36)

“Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini. Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.” (QS. al-Haaqqah [69]: 35-37)

“Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak, yang mengelupaskan kulit kepala.” (QS. al-Ma’aarij [70]: 15-16)

Demikianlah, ada banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan dasyatnya siksaan Alah di akhirat, bagi orang-orang yang berdosa. Bagi yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh, tentulah akan merasa ngeri sehingga akan menganggap enteng semua hukuman di dunia.

Tentang perzinaan sendiri ada beberapa catatan disini. 1. Dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan kriminal (jarimah) yang dikatagorikan hukuman hudud. Yakni sebuah jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah SWT, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan tersebut, baik oleh penguasa atau pihak berkaitan dengannya. Berdasarkan Qs. an-Nuur [24]: 2, pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan harus dihukum jilid (cambuk) sebanyak 100 kali. Namun, jika pelaku perzinaan itu sudah muhson (pernah menikah), sebagaimana ketentuan hadits Nabi saw maka diterapkan hukuman rajam.

2. Yang memiliki hak untuk menerapkan hukuman tersebut hanya khalifah (kepala negara Khilafah Islamiyyah) atau orang-orang yang ditugasi olehnya. Jika sekarang tidak ada khalifah, yang dilakukan bukan menghukum pelaku perzinaan itu, namun harus berjuang menegakkan Daulah Khilafah terlebih dahulu.

3. Yang berhak memutuskan perkara-perkara pelanggaran hukum adalah qadhi (hakim) dalam mahkamah (pengadilan). Tentu saja, dalam memutuskan perkara tersebut qadhi itu harus merujuk dan mengacu kepada ketetapan syara’. Yang harus dilakukan pertama kali oleh qadhi adalah melakukan pembuktian: benarkah pelanggaran hukum itu benar-benar telah terjadi. Dalam Islam, ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai bukti, yakni: (1) saksi, (2) sumpah, (3) pengakuan, dan (4) dokumen atau bukti tulisan. Dalam kasus perzinaan, pembuktian perzinaan ada dua, yakni saksi yang berjumlah empat orang dan pengakuan pelaku. Tentang kesaksian empat orang, didasarkan Qs. an-Nuur [24]: 4.

Sedangkan pengakuan pelaku, didasarkan beberapa hadits Nabi saw. Ma’iz bin al-Aslami, sahabat Rasulullah Saw dan seorang wanita dari al-Ghamidiyyah dijatuhi hukuman rajam ketika keduanya mengaku telah berzina. Di samping kedua bukti tersebut, berdasarkan Qs. an-Nuur: 6-10, ada hukum khusus bagi suami yang menuduh isterinya berzina. Menurut ketetapan ayat tersebut seorang suami yang menuduh isterinya berzina sementara ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, ia dapat menggunakan sumpah sebagai buktinya. Jika ia berani bersumpah sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa dia termasuk orang-orang yang benar, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah SWT atas dirinya jika ia termasuk yang berdusta, maka ucapan sumpah itu dapat mengharuskan isterinya dijatuhi hukuman rajam. Namun demikian, jika isterinya juga berani bersumpah sebanyak empat kali yang isinya bahwa suaminya termasuk orang-orang yang berdusta, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa bahwa lanat Allah SWT atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar, dapat menghindarkan dirinya dari hukuman rajam. Jika ini terjadi, keduanya dipisahkan dari status suami isteri, dan tidak boleh menikah selamanya. Inilah yang dikenal dengan li’an.

4. Karena syaratnya harus ada empat orang saksi, seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman. Pengakuan dari salah satu pihak tidak dapat menyeret pihak lainnya untuk dihukum. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah diceritakan bahwa ada seorang budak laki-laki yang masih bujang mengaku telah berzina dengan tuannya perempuan. Kepada dia, Rasulullah menetapkan hukuman seratus camnukan dan diasingkan selama satu tahun. Namun demikian Rasulullah Saw tidak secara otomatis juga menghukum wanitanya. Rasulullah Saw memerintahkan Unais (salah seorang sahabat) untuk menemui wanita tersebut, jika ia mengaku ia baru diterapkan hukuman rajam (lihat Bulugh al-Maram bab Hudud). Hasil visum dokter juga tidak dapat dijadikan sebagai bukti perbuatan zina. Hasil visum itu dapat dijadikan sebagai petunjuk saja.

5. Tuduhan perzinaan harus dapat dibuktikan dengan bukti-bukti di atas. Tidak boleh menuduh seseorang melakukan zina, tanpa dapat mendatangkan empat orang saksi.

6. Berzina termasuk perbuatan kriminal yang harus dihukum. Jenis hukumannya hanya ada dua, yakni jilid dan rajam. Bagi pezina ghaoiru muhson yang dijatuhi hukuman jilid, bisa saja mereka dinikahkan setelah menjalani hukuman. Al-Qur'an dalam Qs. an-Nuur [24]: 3 memberikan kebolehan bagi pezina untuk menikah dengan sesama pezina. Tentu saja, ini berbeda dengan pezina muhson yang dijatuhi hukuman rajam hingga mati, kesempatan untuk menikah bisa dikatakan hampir tidak ada. (LBR)

Wallahu’alam bi showab

0 komentar:

Posting Komentar