Jalan Terjal Kaum Jomblo

Senin, 21 Februari 2011

Buku "Kecil-kecil Nikah"
-Sebuah Triger-

“Maaf akhi, bukannya akhi tidak baik, bukannya akhi tidak sholeh, tapi untuk sementara ana tidak bisa menerima khitbah-nya akhi”
“Afwan, saya tidak bisa menerima ta’aruf dari akhi, karena saya sudah dijodohkan orang tua saya”
“Akh, mohon maaf yang sedalam-dalamnya, sebenarnya saya juga tidak tega menyampaikan hal ini. Saya belum siap untuk menikah, jadi kita bersilah ukhuwah aja ya?”
“Maaf akh, aku nggak bisa menerima dirimu untuk jadi pendamping hidupku…”
“Af1, jika ana membalas surat akhi dengan sms ini. Tentang permohonan akhi untuk meminta ana menjadi calon isteri. Maaf, saya tidak bisa…”

Bro, ada yang udah pernah dapat jawaban kayak gitu? Pasti tau khan apa maksud penggalan-penggalan kalimat diatas? Yupz, deretan kata diatas bisa dibilang kalimat “menyakitkan” yang pernah diterima oleh seorang ikhwan ketika pengajuan khitbahnya di tolak oleh akhwat. Gimana rasanya? Hancur berkeping-keping, remuk redam, serasa sulit banget untuk dikembalikan lagi. Sebegitukah?
Hemm.. Ya, kita ngerti banget gimana dalemnya hujaman kata-kata itu, apalagi bagi kamu yang menerima kayak gitu nggak cuman sekali. Hhhheeeh…rasanya pasti pegel, linu, serasa minta dipijit… alah, bang pintung nonton biskop, nggak nyambung, Sob.

Emang ya mengakhiri masa jomblo nggak gampang. Adakalanya juga yang dari segi materi udah siap, sarana juga udah mapan, tapi sang pujaan hati selalu menolaknya. Apa sih kurangnya? Apa, nggak level, nggak sekufu? Kurang ng-ikhwan banget getu? Atau apa?
Sabar Sob… yang jelas buat yang punya pengalaman kayak gitu, saran saya cuman satu positive thinking. Ya, positive thinking sama Allah dan juga positive thinking sama tuh akhwat. Kali aja, emang dia bukan jodoh kita. Mungkin Allah bakal ngasih kita jodoh yang lebih baik dari dia. Atau mungkin niat kita aja yang kurang lurus bin ikhlas, saat mau mengkhitbah dia, sehingga kita perlu koreksi dan instropeksi terhadap diri kita sendiri.
Kenapa kita kasih saran, agar kamu positive thinking? Sebab kalo nggak pasti kamu ngedumel, ngegerundel, yang akhirnya bisa mencaci maki baik dalam hati maupun terang-terangan kepada tuh akhwat, bahkan sampe sumpah serapah kepada Allah.. Hih, naudzubillah min dzalik.
Biar lebih jelas bin gamblangnya, untuk kamu yang ada di posisi ini, ada beberapa catatan penting, coba simak aja deh:
Pertama: Percayai qadha. Jika kamu termasuk jomblo yang pernah beberapa kali ditolak oleh orang yang kamu incar, atau incaran kamu selalu disambar orang lain, maka percaya aja bahwa itu sudah qadha (ketetapan) dari Allah. Berpikirlah positif terhadap qadha Allah, selalu ada hikmah dibalik itu semua. Siapa tahu cewek atau cowok yang selama ini kamu incar, jika benar menjadi pasangan hidup kamu, ternyata malah kamu nggak bahagia dengan dia. Atau cewek yang kamu idam-idamkan bisa jadi pendamping hidupmu, ternyata punya banyak kelemahan, yang jikalau kamu bersamanya kelak, pasti kamu akan merasa kurang nyaman. Begitulah, kita butuh melegakan hati dan menghibur diri terhadap qadha, yakin bahwa Allah telah menyiapkan jodoh yang terbaik buat kita kelak. Kata sebagian teman: tak akan lari gunung dikejar, asam di gunung garam di laut, toh bisa ketemu juga. Maka kokohkanlah keimanan saat momen itu terjadi pada kita. Yakinilah skenario Allah tengah berlangsung, dan jadilah penyimak yang baik dengan penuh sangka yang baik padaNya. Jangan terus menanamkan prasangka buruk padaNya. Segerahlah sadar bahwa ini adalah ujian dari Allah.
Kedua: Siap bahagia, siap kecewa. Siapapun berhak kecewa manakala keinginan dan cita-citanya nggak tercapai. Perasaan kecewa adalah bagian dari gharizatul baqa' (naluri mempertahankan diri) yang Allah ciptakan pada manusia. Sehingga manusia bisa gembira tapi juga bisa kecewa. Barangkali, yang ada di benak kaum jomblo adalah gimana bisa mendapat jodoh yang ideal, yang sesuai dengan kriteria yang selama ini diidam-idamkan. Hemm...betapa bahagianya jika kita mendapat rejeki yang seperti itu, mendapat suami atau isteri yang ideal. Tapi, adakalanya yang ideal itu sulit didapat dan tak kunjung nyampe ke kita. Malahan ketika banyak tawaran ikhwan atau akhwat yang masuk, eh..nggak masuk kriteria sama sekali, ampun...deh. Ketika sang ‘bunga’ yang kita impikan ada di depan mata dan kita mencoba untuk menggapainya, ternyata harus pupus di tengah jalan, gara-gara khitbah kita ditolaknya…uhh pedih.. banget. Nah, alangkah bijaknya kalo kita tanamkan dalam diri kita, Allah Mahatahu yang terbaik bagi hamba-hambaNya. Jangan biarkan kekecewaan menggerogoti keimanan kita kepadaNya.
Ketiga: Sempurna itu bagus, tapi realistislah. Insya Allah segala perkara kalo seimbang pasti nyaman. Dalam urusan jomblo dan jodoh pun kita kudu seimbang, artinya kita boleh punya harapan, tapi harapan itu kudu diimbangi dengan sikap yang realistis. Jangan biarkan angan-angan membuai kita dan membuat diri menjadi thulul amal, panjang angan-angan. Sadarilah semakin tinggi angan membuai kita, semakin sakit manakala tak tergapai dan terjatuh. Jangan karena ngarep yang sempurna itu selalu pasti akan datang, trus setiap ada ikhwan yang punya cela sedikit aja, ditolaknya. Mungkin ada diantara jomblowati, yang kepikiran “calon suami saya harus bertanggungjawab, giat berdakwah dan rajin beribadah, cerdas, pengertian, penyayang, humoris, mapan dan juga tampan” Iya…ya..yaa boleh aja nggak dosa punya kriteria seperti itu.  Tapi kata teman saya, kalo seandainya kriteria itu adalah harga mati yang tak tertawar, maka yang ukhti butuhkan bukanlah seorang ikhwan melainkan kitab-kitab pembinaan. Ada benarnya juga apa yang dibilang oleh teman saya tadi, karena pada faktanya manusia itu no perfect alias nggak sempurna, ada ikhwan yang ganteng, pinter, sholeh, tapi kurang mapan, ada mungkin akhwat yang giat dakwah, tajir tapi punya masalah komunikasi dengan keluarganya, dsb. Disinilah, sekali lagi sikap tawazun (seimbang) tadi benar-benar dibutuhkan. Oya, nggak berarti juga kalo kriteria kita nggak terpenuhi, lantas bikin kita putus asa sekaligus minder, berpikiran bahwa kamu nggak layak punya kriteria itu. Trus, akhirnya kamu berpikir wis pokoke sak ketemunya alias asal-asalan aja. Apalagi kalo ada alasan kepepet, mendesak, udah out to date, dst. Janganlah, nggak perlu punya pikiran kayak gitu. Kita hanya butuh realistis di saat kita punya harapan, tentu sambil menengadahkan doa kepada Allah untuk diberi yang terbaik. Saya kasih catatan penting ya, tolong diingat bahwa menikah itu berani menerima kekurangan pasangannya, bukan mencari yang sempurna. Jikalau kesempurnaan yang dicari, maka setelah menikah nanti, kamu akan merasakan ada yang kurang dari pasangan kita. Semoga kita dijauhkan dari sifat seperti itu.
Keempat: Tetap ikhtiar dan tawakal. Meskipun kamu berpredikat jomblo dan berkali-kali ditolak akhwat. Jangan sampe kamu sumpah serapah, nggak bakal melepas predikat itu selamanya, sampe kamu berikrar nggak pengin nikah. Nggak, nggak boleh kayak gitu. Walaupun kita jomblo kita tetap berusaha ikhtiar mencari pasangan hidup kita. Bagi yang cewek, kalo ada teman, saudara atau tetangga, yang nawarin seorang ikhwan, ya cobalah dilihat dulu curiculum vitae-nya, kalo ternyata cocok, bisa diteruskan, kalo nggak cocok, bilang aja terus terang. Buat yang cowok pun bisa juga kayak gitu. Yakin aja ama keputusan Allah. Sambil terus berusaha tentunya. Kalo memang udah ngebet pengen nikah, tapi masih mentok dengan calon pendamping, jangan putus asa.
Kelima: Banyak berdoa dan bersabar. Banyakin berdoa pada Allah supaya dijauhkan dari perbuatan maksiat. Selain juga minta padaNya agar suatu saat dijodohkan dengan orang yang baik agamanya dan dunianya. Perjodohan adalah rahasia Allah. Nggak ada seorang pun yang tahu kapan dan dengan siapa kita akan berjodoh. Bisa jadi kita yang kaya, tampan, ternyata berjodoh dengan yang biasa-biasa aja. Atau yang sholihah, baik ternyata harus berjodoh dengan lelaki yang luar biasa jahatnya. Cinta dan perjodohan tidak mengenal status dan identifikasi fisik. Bukan karena cantik maka para ikhwan menyukainya. Juga bukan karena seorang hamalatud da'wah lalu setiap orang mendambakannya. Doa yang senantiasa kita panjatkan, bisa jadi memang tidak dikabulkan olehNya, karena memang doa tidak bisa mengubah takdir. Jika demikian keadaannya, maka kita masih punya senjata melawan ‘rasa kecewa’ itu, yakni sabar. Sebaiknya kita simak pesan Rasulullah berikut ini: “Menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya urusannya seluruhnya baik dan tidaklah hal itu dimiliki oleh seseorang kecuali bagi seorang mukmin. Jika mendapat nikmat ia bersyukur maka hal itu baik baginya, dan jika menderita kesusahan ia bersabar maka hal itu lebih baik baginya”. (HR. Muslim).

Jomblo, Dari Urusan Pribadi ke Negara
Jujur Bro, petuah-petuah yang kita sampaikan diatas tadi, sifatnya lebih ke personal. Padahal kalo kamu jeli Sob, masalah jomblo ini juga ada kaitannya dengan orang lain. Artinya ini merupakan masalah interaksi dengan orang lain, bisa dengan si cowok atau cewek yang jadi incaran alias yang mau di khitbah, bisa juga berususan dengan orang tua atau keluarga kedua belah pihak. Maka bicara jomblo, juga kudu bicara masalah keluarga, masyarakat bahkan negara sekalipun.
Terus terang, kita bukan mau mencari-cari kesalahan orang lain ketika status jomblo kita nggak segera bisa kita akhiri. Kita cuman mau menunjukkan fakta yang sesungguhnya aja, bahwa urusan jomblo juga jadi urusan negara.
Yang pertama dulu kita bahas yang ada sangkut pautnya dengan keluarga dan masyarakat di sekitar kita. Barangkali ada yang udah menemukan pasangan, tapi ternyata banyak hambatan untuk sampai ke pernikahan. Nggak sedikit hambatan yang menghalangi seseorang untuk mengakhiri masa jomblo, salah satunya dari pihak ortu atau keluarga calon kita. Berikut ini, akan sedikit kita paparkan beberapa kesulitan kaum jomblo mengakhiri masa kejomblo-annya
1.        Tarif tinggi untuk mahar.
Nggak sedikit para orang tua di jaman materialistik ini, memasang tarif yang tinggi untuk mahar. Sehingga nggak terjangkau oleh si calon mantu. Padahal mungkin kalo melihat dari segi “kecocokan”, antara anak-anak mereka sudah saling cocok, tinggal selangkah aja ke jenjang yang serius, tiba-tiba harus mundur karena nggak mampu membayar mahar. Langkah yang bisa kita tempuh, baik dari pihak si cowok maupun si cewek jika memang mereka udah ngerasa saling cocok dan pengin menggapai ridhlo Allah melalui pernikahan, adalah melakukan upaya persuasif. PDKT ke ortu, agar mereka memikirkan “faktor lain” jikalau lamaran itu ditolak hanya karena gara-gara mahar. Emang sih, mahar itu jadi salah satu syarat syah pernikahan, disamping ijab Kabul dan Wali. Tapi khan nggak ada ketentuan mahar harus mahal dan nggak terjangkau.
Bahkan dalam riwayat mahsyur Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih mereka berdua, bahwa ada seseorang laki-laki yang meminta kepada Rasulullah Saw untuk menikahkannya dengan seorang wanita, Nabi Saw bertanya “Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk mahar)?” Laki-laki tersebut menjawab “Demi Allah, aku tidak memiliki sesuatupun, wahai Rasulullah”. Rasulullah bersabda “Pergilah ke keluargamu, barangkali mereka memiliki sesuatu untuk diberikan” Laki-laki itu pun pergi, dan selang beberapa waktu dia kembali lagi, “Demi Allah, aku tidak menemukan sesuatupun” Rasulullah Saw bersabda “Carilah meski hanya sekedar cincin dari besi”. Lalu lelaki itu pergi dan tak beberapa lama dia kembali, dan berkata “Wahai Rasulullah, Demi Allah aku tidak menemukan sesuatu meski hanya cincin dari besi. Tapi aku hanya memiliki sepotong kain ini, barangkali separohnya bisa diberikan kepada wanita itu”. Nabi Saw bersabda “Apa yang hendak kamu perbuat dengan sepotong kainmu itu? Bila kamu memakainya, maka dia (pinanganmu) tidak akan memakai sesuatu pun, dan ketika dia memakainya, kamu tidak memakai sesuatu pun”. Lalu laki-laki itu duduk lama, lalu dia berdiri dan hendak beranjak pergi. Saat itu Rasulullah Saw memanggil laki-laki tersebut, Rasulullah bersabda “Berapa surah yang ada pada dirimu?” Laki-laki itu menjawab: “Dalam diriku terdapat surah ini dan surah itu” seraya menyebutkan satu per satu surah itu. Rasulullah bertanya “Mampukah kamu membaca surah-surah itu dengan hafalan?”. Laki-laki itu menjawab “Ya”. Nabi bersabda “Pulanglah, sesungguhnya aku telah menikahkanmu dengan wanita itu dengan maskawin surah-surah Al Quran yang ada pada dirimu itu”.
Ibnu Hibban telah meriwayatkan dalam Kitab Shahihnya dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata, Rasulullah Saw bersabda :
“Sesungguhnya di antara wanita yang terbaik adalah wanita yang paling mudah (ringan) maskawinnya”
Imam Ahmad dan Baihaqi telah meriwayatkan hadits:
“Wanita yang memiliki keberkahan paling besar adalah wanita yang paling mudah (ringan) maskawinnya”
Dalam kitab tafsirnya, Al-Alusi telah menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, dari Rasulullah Saw, bahwa beliau Saw bersabda:
“Keberuntungan seorang wanita terletak pada upaya untuk memperingan maharnya”
Jika para orang tua masih juga menghalangi si anak untuk menikah dengan alasan mahar yang nggak bisa ditawar-tawar, maka coba para orang tua renungkan sabda Rasulullah Saw berikut ini:
“Apabila datang kepadamu seorang laki-laki yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Jika kamu tidak melakukan demikian, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar” (HR. Tirmidzi)
Tapi ingat Sob, di hadits tersebut disebutkan laki-laki “yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya”. Nah, kamu masuk kriteria itu nggak?
2.        Dana resepsi yang nggak terjangkau.
Biasanya kalo di adat Jawa, penyelenggara pernikahan adalah pihak cewek, tapi nggak menutup kemungkinan pihak cowok juga mengajukan seabreg dana agar resepsi nikah kelihatan “wah”. Barangkali mereka pikir keluarga mereka berasal dari kalangan terpandang, kalo ngerayain pernikahan cuman sederhana aja, kesannya gimana gitu. Untuk itu salah satunya mensyaratkan musti menghadirkan sebuah resepsi yang cukup meriah, mulai dari pakaian pengantin dan keluarga, makanan yang dihidangkan, tempat resepsi yang nyaman, sampe masalah tamu yang diundang pun juga harus dari golongan menengah ke atas.
Hemm…kalo udah seperti itu, kayaknya kamu yang dari golongan Elit alias ekonomi sulit, kudu mundur teratur, meskipun kamu sangat mengidam-idamkan gadis pujaanmu itu. Ironi memang, tapi mau gimana lagi kondisi sekitar “memaksa” para orang tua berlaku seperti itu. Apalagi ada conto para selebriti kita yang sering ditayangkan di teve, menggelar pesta pernikahan yang mewah. Kian parah aja ya?
Yang lebih mengenaskan lagi, kalo sampe ada syarat seperti itu, baik dari pihak yang dituntut maupun pihak penyelenggara sendiri untuk bisa menyelenggarakan model pernikahan mewah, mereka harus berhutang alias diluar kemampuan finansial mereka.
So, gimana cara pandang Islam tentang resepsi pernikahan? Secara hukum walimah itu sunnah, dasar hukum dari walimah, diantaranya beberapa hadits Rasulullah Saw, berikut ini:
“Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Nabi Saw, melihat pada ‘Abdurahman bin ‘Auf bekas minyak wanginya, lalu beliau bertanya: “Apa gerangan ini? Kenapa kamu melakukan ini?” Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, saya telah kawin dengan seorang perempuan dengan mas kawin sekeping emas” Rasulullah Saw lalu menyahut: “Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, dan adakan walimah walau dengan (menyembelih) seekor kambing kibasy” (HR. Ibnu Majah)
“Dari Anas bin Malik, ujarnya: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Saw, melakukan walimah untuk istri-istrinya seperti yang beliau lakukan dalam walimah perkawinannya dengan Zainab, yaitu beliau menyembelih seekor kambing kibasy” (HR. Ibnu Majah)
“Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ketika kawin dengan Shafiyah, Nabi Saw mengadakan walimah dengan makan gandum dan kurma” (HR. Ibnu Majah)
Sob, dengan menyimak hadits-hadits diatas kita bisa tahu bahwa ternyata nggak ada tuntutan untuk memewahkan resepsi pernikahan, disebutkan disitu “meski hanya (menyembelih) seekor kambing”, itu artinya bisa sesederhana mungkin. Apalagi dari segi hukum, resepsi nikah hanya Sunnah, yang wajib malah Akad Nikah. Catet itu!
Gimana para jombloman? Masih minder ngelamar si dia hanya gara-gara kamu disodori proposal dana resepsi pernikahan yang serba wah? Ayo dong, maju terus pantang mundur, kamu hanya perlu meloby calon mertua kamu, selebihnya pasrah aja deh sama Allah, kalo dia yang terbaik untuk kamu pasti akan dikasih oleh Allah. Ya nggak?
3.        Musti lulus kuliah dulu.
Sebagian orang berpikir pendidikan cukup ngaruh bagi masa depan keluarga, sehingga ketika ditawari menikah ada yang masih berpikir panjang untuk menyelesaikan kuliah dulu. Ya boleh-boleh aja sih beralasan demikian, tapi alasan itu kalo bisa nggak permanen. Artinya suatu saat bisa berlaku, bisa nggak. Soalnya kalo musti nunggu kelar kuliah, ada beberapa kemungkinan. Satu sisi mungkin ada pihak yang nggak sabar menunggu, sehingga bisa pindah ke lain hati, atau kalo nggak kuat-kuat amat, entar malah MBA lagi. Sementara di sisi yang lain, kesibukan kuliah bisa jadi menyebabkan seseorang nggak bisa memprediksi kapan berakhirnya masa kuliahnya, apalagi kalo sampe bergelar MA alias mahasiswa abadi, khan berabe?
Nah, ada baiknya kalo didiskusikan dulu, ada nggak kemungkinan menikah sambil kuliah. Tentunya dengan pertimbangan finansial yang cukup, karena paling nggak harus memikirkan biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari, belum lagi kalo di tengah perjalanan dikaruniai momongan, tambah lagi khan bebannya? Itu artinya musti ada penghasilan, dan penghasilan didapatkan kalo kamu bekerja. Kalo pinjam istilah teman, yang seperti ini disebut KKN alias Kuliah, Kerja, Nikah. Nggak gampang memang, tapi bukan berarti mustahil. Sebagian orang sudah mempraktekan seperti itu dan berhasil.
Juga yang perlu jadi catatan, bahwa rizki dari Allah nggak ada sangkutpautnya secara langsung dengan tinggi-rendahnya pendidikan seseorang. Adakalanya yang sarjana, eh malah masih nganggur nggak punya penghasilan. Atau yang sarjana, penghasilannya berlebih juga ada, tapi bukan karena gelar sarjananya, karena mungkin dia seorang penjual sate yang sukses. Begitu seterusnya, sampe mungkin ada juga yang lulusan SD, ternyata jadi pengusaha yang sukses. Itulah rahasia rizki, sama dengan rahasia jodoh dan mati.
Jadi yang dibutuhkan dari kita cuman kemauan kita untuk berusaha mendapatkan penghasilan, nggak peduli masih kuliah atau udah kelar kuliah, kalo ternyata punya dana cukup untuk menghidupi keluarganya kelak, why not? Untuk segera menikah. Betul nggak, Sob?
Yang kedua, masalah status jomblo yang ada kaitannya dengan urusan negara. Tolong untuk bagian ini kita perlu simak secara mendalam, sebab sekali lagi bukan ego kami yang berbicara, tapi nalar dan logika yang menunjukkan dengan gambling bahwa jomblo juga bisa jadi urusan negara. Simak neh:
1.        Masalah rendahnya penghasilan.
Barangkali diantara kaum jomblo ada yang keinginan menikahnya baru sebatas mimpi, sebab sampe detik ini kalo dihitung-hitung penghasilannya nggak cukup untuk menghidupi keluarganya kelak. Dia sudah memutar otak, memeras keringat, membanting tulang, toh hasilnya segitu-gitu aja. Trus apa salah hamba. hikk.hiiik? Waduh.. nggak segitunya kale…
Ya, ada beberapa alternatif permasalahan dan pemecahannya. Coba kita amati, bisa jadi kita punya penghasilan rendah, karena mungkin kita nggak punya pekerjaan tetap-lah, skill kita terbatas-lah, hanya lulusan SD-lah, nggak punya modal usaha-lah, dan seterusnya. Kalo ini masalahnya, bisa disiasati dengan kecerdasan akal, kekerasan kita berusaha, dan keikhlasan kita menerimanya.
Tapi bisa jadi kita punya penghasilan rendah karena mungkin kita termasuk salah satu korban dari kemiskinan struktural. Gimana kita bisa buka usaha, sementara kita berasal dari ekonomi lemah? Gimana bisa, kita punya skill yang mumpuni atau bisa sekolah tinggi, kalo nenek moyang tujuh turunan kita dari keluarga fakir wal miskin? Nah, bukannya mau nyari-nyari kesalahan diluar diri kita, atau berusaha ngeles dari kelemahan kita. Tapi ini fakta, riil terjadi di tengah masyarakat kita ada sebagian orang dengan kekayaannya, mereka bisa membeli apa aja yang mereka inginkan, tapi ternyata di sisi lain nggak sedikit masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok aja sudah harus menguras tenaga dan pikirannya. Itulah yang disebut kemiskinan struktural, alias orang memang dibikin miskin oleh sistem. Apalagi sistem yang diterapkan di negeri kita adalah sistem kapitalistik-sekularistik, yang berpeluang tidak memanusiawikan manusia. Saat ada sebagian selebriti atau politisi kita sibuk belanja mewah di Singapura, tapi coba perhatikan ada juga saudara kita yang masih tidur di rumah kardus, makannya dari mengais sisa makanan di tong sampah, bajunya pun kotor dan kumel. Sungguh sebuah fenomena keterbalikan bukan?
Kaum jomblo, kita bukan mau manas-manasin kamu, tapi keinginan nikah kamu bisa terhalang karena kamu nggak punya penghasilan yang layak dan itu terjadi karena sistem. Makanya, udah saatnya kita tidak berdiam diri, kita harus ikut memperjuangkan hak kaum jomblo untuk menikah. Sementara kaum jomblo bisa nikah, salah satunya kalo punya pekerjaan yang layak, dan pekerjaan yang layak itu salah satunya harus disediakan oleh Negara, sebagai pelayan rakyat. Betul tidak?
2.        Sistem “menjebak” kita cinta dunia.
Ada mungkin sebagian dari para kaum muda yang mabuk dengan urusan dunia, sehingga mengumbar hawa nafsu seenak perutnya, terutama nafsu terhadap lawan jenis. Karena mereka ngerasa enjoy di dunia nafsu binatang itu, mereka akhirnya emoh untuk meninggalkannya. Di sisi lain, ada yang berpikiran kalo nikah justru akan mengekang kebebasan mereka, “ya gini aja, lebih bebas nggak ada yang mengikat” itu mungkin kilah mereka. Bahkan ada sebagian mungkin terjerumus lebih dalam dengan hidup sesama jenis alias homo…hiih.. naudzubillah min dzalik.
Tapi anehnya Non, yang seperti itu dibiarkan bahkan diamini oleh Negara dengan alasan HAM. Tentu yang kayak gini nggak bisa dibiarkan aja, kita harus cepat bertindak, sebelum teman-teman kita atau anak cucu kita nanti ketularan. Eits.. tapi tunggu dulu, kita nggak boleh gegabah, main hakim sendiri karena kita bukan hakim, main pukul aja karena kita bukan tukang pukul atau pak polisi. Kita nggak bisa main bakar atau bom, karena emang seperti itu nggak boleh dan nggak dicontohkan oleh Islam. Trus apa yang bisa kita lakukan? Nah, bagus dech kalo ada yang tanya gitu.
Gini Sob, kita perlu cari akar masalahnya dulu, biar kita bisa kasih solusi. Secara sederhana mungkin bisa kita awali pembahasan pada masalah pribadi dan sosial. Misalnya begini, Sholat adalah masalah pribadi seseorang dengan Allah, sementara masalah seperti perzinaan, perkosaan, homo, lesbi, dan sejenisnya adalah masalah sosial. Kalo orang nggak sholat, siapa yang rusak? Orang itu sendiri khan? Tapi coba kalo orang berzina atau perkosaan, siapa yang “dirugikan”? Pasti ada orang lain yang ikut merugi khan? Nah, bayangin kalo “proses” merugikan (kalo nggak bisa dikatakan, merusak) orang lain, itu berlangsung terus menerus dan terjadi pembiaran, mungkin awalnya yang rusak 1 keluarga, akhirnya 1 kampung, lama-lama se-kota bahkan satu negara bisa hancur gara-gara dibiarkan tadi.
Okelah, kalo nggak boleh dibilang “dibiarkan”, coba sekarang aturan atau regulasi yang ada misalnya yang mengatur perzinaan, tegas nggak? adil nggak? menyelesaikan nggak? Gimana bisa dikatakan tegas bin adil kalo yang selalu kena razia hanya para WTS di pinggir jalan, sementara yang kelas kakap yang dapat ijin di kompleks lokalisasi, malah dilestarikan? Gimana bisa dikatakan menyelesaikan masalah perzinaan, kalo kondom di jual bebas, bahkan remaja-remaja disediakan ATM kondom?
Bagi orang yang berpikiran waras, pasti bisa berpikir jernih kalo masalah sosial yang bisa ngasih regulasinya adalah negara melalui seperangkat undang-undang. Ya udah, berarti negara melalui para penyelenggaranya kita musti ingatkan, kalo aturan yang selama ini mereka bikin dan diterapkan untuk kita, nggak pernah bisa menyelesaikan masalah, malahan muncul masalah-masalah baru. Kalo mereka mau contoh undang-undang sekaligus pemerintahan yang bisa menyelesaikan problematika umat, maka contolah apa yang pernah Rasulullah Saw dan para khalifah-nya terapkan.
“Siapa yang bekerja untukku dalam keadaan tidak beristri, hendaklah menikah; atau tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil pelayan; atau tidak mempunyai rumah, hendaklah mengambil rumah; atau tidak mempunyai tunggangan (kendaraan), hendaknya mengambil kendaraan.” (HR Abu Dawud).
Hem…terlalu panjang, kalo musti dijelaskan satu per satu tentang masalah itu di buku ini, tapi sebagai peringatan hendaknya kita renungkan firman Allah :
“Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. al Maidah 50).
Ok guys, kamu jadi ngeh khan kalo masalah jomblo ternyata jadi urusan negara juga? Makanya, nggak usah nekad berzina, atau kepikiran berzina meskipun statusmu jomblo. Kalo emang harus jaga status, tapi tetep juga jaga iman dan Islam kita. Biar kita bisa jadi jomblo yang selamat.

(dinukil dari buku Kecil-Kecil Nikah, karya Luky B Rouf)

0 komentar:

Posting Komentar