Risalah Teori "FUTUR-Isme"

Senin, 21 Februari 2011

Ngawi, 25 November 2010
Ba’da Subuh
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Dear Sobatku di jalan dakwah,
Alhamdulillah wa sholawatu ‘ala rasulillah, wa la qaula wa la quwata illa billah. Ama ba’du.
Kaifa halukum? Lama saya tak menyapa antum semua sebagai seorang kakak, sebagai seorang teman yang dulu (saat kita pertama kali bertemu dan berkumpul) hingga detik ini, masih punya ghiroh memperjuangkan Islam.
Kawan, masih ingatkah engkau saat kita bersama-sama bersusah payah, bermandi hujan, berlari tersendat, mengayuh dalam kepayahan yang mungkin hingga saat ini masih ada yang melakukan hal seperti itu.
Ada yang ikhlas mengayuh sepeda pancal dari Setro sampe ke Ketintang. Ada yang rela bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan siaran radio. Ada yang harus mau menyisihkan uang jajannya, hanya demi nombokin kekurangan panitia. Ada juga yang mau-maunya, ngisi acara tapi nggak dapat uang saku. Ada yang rela waktu tidur, istirahat dan bermainnya jadi terganggu, karena harus nulis di bulletin, bikin acara, dsb nya.
Itu memory yang sebagian masih terlintas di benak saya. Tak lupa pula, saya juga masih ingat kalo saya pernah berbuat salah, khilaf pada kawan-kawan semuanya. Saya pernah memarahi, memaki, mencemooh, meremehkan. Maka mumpung masih ingat semua keburukan itu, saya minta maaf kepada kawan-kawan semuanya.


Kawan, kita memang sekarang terpisah oleh jarak, meski sesekali saya bersua dan saling menyapa kalian di dunia maya. Ada kangen yang merasuki relung hati saya untuk berjumpa dan ngobrol bareng dengan kalian, CLBK (cerita lama bersemi kembali)….
Ada diantara kalian yang sekarang sudah bekerja, ada yang masih kuliah, atau dua-duanya kerja dan kuliah, atau bahkan diantara kalian ada yang sudah merit dan siap-siap merit.
Kawan, ibaratnya perputaran roda, kadang hidup itu tidak selalu seperti yang kita inginkan. Adakalanya kita harus melegakan kesabaran, mengelus dada menapaki jalan hidup kita yang sebagiannya sudah kita garansikan untuk dakwah. Adakalanya juga hidup kita ditimang-timang oleh harta, dilenakan oleh kesenangan, dan kegembiraan yang jujur saja, itu bisa membuat kita terbuai karenanya.
Jujur saja ada satu hal yang saya “takutkan” ketika itu menimpa diri saya maupun saya khawatir juga menimpa diantara kalian. Satu hal itu adalah “FUTUR”, ya dalam teori saya menyebutnya Futur-isme. Menurut hemat saya, futur itu adalah sebuah “bonus” dari Allah yang diberikan agar kita bisa naik tingkat. Maka konsekwensinya cuman ada dua, kita lolos atau kita lulus. Jika kita pinter memanej, pandai mensiasati, canggih menghadapi, maka Insya allah kita lulus. Tapi sebaliknya kalo kita kurang pinter, nggak pandai,  atau belum canggih, maka kita bisa lolos alias tinggal kelas.
Bagaimana sebenarnya Allah men-teori-kan futur itu? Coba perhatikan surat cinta dari Allah di Al-Ankabut ayat 2-3 “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? ….. Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
Itulah hakekatnya kita di tes oleh Allah. Sekali lagi bagi yang nggak tahan uji, maka jelas sekali bahwa futur adalah “comfort zone” alias zona nyaman untuk berlari dan mendekam disitu.
(maaf kawan, bukan saya sombong tapi saya hanya sekedar berbagi sebagai orang yang “lebih dulu” lahir daripada kawan-kawan semuanya). Ada yang diuji dengan kekurangan harta, sehingga selepas SMA fokus hidupnya bukan lagi dakwah, tapi kerja, dan cari duit. Bahkan kalo perlu keluar negeri sekalipun akan dijabani. Ada yang diuji dengan keluarganya, sehingga lebih mencintai keluarganya daripada cintanya kepada Islam dan umat. Ada yang diuji dengan pekerjaan atau kuliahnya, sehingga menjadikan dakwah sebagai ‘kambing hitam’ persoalan. Sampe muncul opsi mana yang harus dikalahkan dan mana yang harus menang. Itulah yang dari dulu sering saya sebut ujian itu dengan singkatan 3K (Kuliah, Kerja dan Keluarga). Ujungnya ada diantara kita yang sudah terlempar karenanya. Menghinakan diri  (maaf) dengan menekuni dunia. Semoga setelah ini, tidak ada lagi yang terlempar dan terbuang dari arena dakwah. Amin.
Kawan, saya punya teori atau jurus menghadapi si futur. Silahkan kalo kawan-kawan mau mendebat teori saya, atau silahkan juga kalo ada yang percaya dan memakainya untuk menghadapi si futur. Menurut hemat saya, futur itu suatu saat akan datang menghampiri setiap dari kita, hatta orang yang sholeh, taat sekalipun. Rasulullah Saw saja pernah mengalami hal itu. Coba antum perhatikan perikehidupan beliau Saw saat ditinggal oleh Istri tercintanya Khadijah sekaligus juga ditinggal oleh pamannya Abu Thalib. Beliau futur, tapi karena beliau adalah diantara kekasih Allah, maka Allah menghiburnya dengan isro wal miroj dan janji kemenangan Islam. Maka setelah itu bangkit bersama para sahabat yang lain, bahwa masa depan bisa ditorehkan mungkin tidak di Mekah, tapi Allah memberi tempat yang tepat, yakni Madinah.
Nah, kawan. Teori saya menyatakan “agar kita siap dan sekaligus kuat jika suatu saat si futur  itu datang tiba-tiba menghampiri kita, maka ada 2 kedekatan (taqarub) yang harus senantiasa kita bangun dan kita pelihara”. Yang pertama taqarub kepada Allah Swt, yang harus kita lakukan setiap saat, setiap waktu dan kita harus berkomitmen bahwa kita harus menjadi “kekasih” Allah layaknya Rasulullah dan para sahabat. Kita lakukan amalan yang dicintai oleh Allah seperti sholat malam, baca quran, puasa senin-kemis, sholat dhuha, dan sebagainya. Tak lupa pula amalan wajib seperti berdakwah, berarti harus makin giat dan semangat. Nah, konsistensi ini harus kita jaga dan kita pelihara, agar kita kuat menghadapi si futur.
Yang kedua, kedekatan yang harus kita bangun dan pelihara adalah taqarub kepada musrif (guru ngaji) kita. Ingat, bahwa musrif itu mempunyai dua mata pedang, yang satu bernama muqarabah (kedekatan), yang kedua mutabaah (monitoring). Ya, kita harus dekat dengan musrif kita, karena musrif itu adalah orang tua kita, saudara kita, kakak kita dan seterusnya. Ketika kita menghadapi masalah pekerjaan, belum dapat kerja, atau penghasilan pas-pasan, kita curhat saja ke musrif. Ketika kita pengin nikah, dan lagi dekat dengan seorang akhwat atau pengin dikenalkan seorang akhwat langsung aja bilang ke musrif. Musrif itu yang utama dan pertama yang harus tahu permasalahan kita. Dan yakinlah bahwa ketika ada “aturan administrasi” membuat teori tentang musrif, itu sudah tepat, nggak perlu diragukan lagi. Ketika kita jauh dari musrif, halaqah sering terlambat, atau bahkan halaqah tidak datang, itu adalah penyumbang bagi rasa futur kita. Karena kita merasa jauh dengan musrif kita.
Kawan, dua kedekatan diatas harus sinergi, harus berjalan bareng, nggak bisa salah satu meninggalkan yang lain, atau mengabaikan yang lain. Saya pikir itulah yang membuat Rasulullah Saw (ketika berposisi sebagai manusia biasa), kuat menghadapi futur.
Demikian sebaliknya, ketika kita meninggalkan dua kedekatan diatas tadi, trus si futur datang, maka sudah pasti kita akan jadi “sampah” yang siap dibuang dari arena dakwah.
Sudah ada yang terlempar karena nggak kuat tahan godaan soal jodoh dan keluarga. Sudah ada yang terlempar karena urusan pekerjaan, penghasilan. Sudah ada yang terlempar karena interaksi ikhwan-akhwat. Sudah ada yang terlempar karena senioritas, merasa paling wah, dan seterusnya. Yang itu membuat kita kembali menilik di kitab Takatul al Hizby tentang dua bahaya, yakni “khatar mabda’I (bahaya ideologis)” dan “khatar thabaki (bahaya senioritas)”. Semoga kita yang tersisa ini, dijauhkan dari yang demikian. Amin
Wallahu’alam bi showab.

Wassalamualaikum wr wb.

Saudaramu yang kangen akan perjumpaan dengan kalian di tengah kemenangan Islam,
Luky B Rouf

0 komentar:

Posting Komentar